Semua Amal Kita Bisa Dilihat Dari Niatnya
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan
sesungguhnya setiap orang mendapatkan sesuai apa yang diniatkan,
barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena
dunia yang akan didapatkan atau wanita yang akan dinikahi maka
hijrahnya sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadist tersebut telah di sepakati keshahihannya, juga telah disepakati
agungnya kedudukan hadits ini dalam Islam. Hadist ini sangat banyak
faedahnya. Di riwayatkan oleh Abu Abdillah al Bukhari dalam banyak
tempat di kitabnya, dan Imam Abul Hasan Muslim bin Hajjaj meriwayatkan
di akhir kitabul Jihad. Hadits ini merupakan salah satu sumber ajaran
Islam.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berkata: “Telah ada dalam hadits ini
sepertiga ilmu, ucapan ini di riwayatkan oleh Bukhari dan lainnya,
sebabnya dikatakan demikian karena perbuatan hamba terjadi dengan hati,
lisan dan anggota badannya. Dan niat adalah salah satu dari tiga
bagian ini. Juga telah di riwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah
berkata: ” Hadits ini masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqih”.
sekelompok ulama ada yang berkata: ” Hadits ini sepertiga ilmu”.
Para ulama juga menganjurkan agar memulai karangan-karangan dengan
hadits ini, diantara ulama yang memulai kitabnya dengan hadits ini
adalah Imam Abu Abdillah Al Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata:
“Semua pengarang buku hendaknya memulai kitabnya dengan hadits ini,
untuk mengingatkan thalibul ilmi agar membenarkan niatnya.
Hadits ini jika dilihat dari akhir sanadnya adalah masyhur, tapi jika
dilihat dari awal sanadnya adalah hadits gharib, karena tidak ada yang
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kecuali Umar bin
Khattab radhiyallahu anhu, tidak ada yang meriwayatkan dari Umar
kecuali Alqomah bin Abi Waqash, dan tidak ada yang meriwayatkan dari
Alqomah kecuali Muhammad bin Ibrahim Attaimi, dan tidak ada yang
meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim kecuali Yahya bin Sa’d Al
Anshori. Kemudian setelah itu menjadi masyhur di riwayatkan oleh lebih
dari dua ratus orang dan sebagian besar mereka adalah imam.
Lafazh
innamaa untuk hashr (pembatasan): menetapkan yang
disebutkan dalam konteks hadits dan menafikan yang selainnya, lafazh
ini sebagai pembatas yang mutlak dan kadang sebagai pembatas yang
khusus, hal ini di pahami dengan adanya qorinah, seperti firman Allah:
innamaa anta mundziru
“Engkau hanyalah seorang pemberi peringatan” (An Nazi’at:45).
Zhahir ayat ini menunjukkan pembatasan tugas Rasulullah hanya sebagai
pemberi peringatan, padahal Rasulullah sifatnya tidaklah terbatas itu
saja, bahkan dia mempunyai sifat yang banyak dan bagus, seperti
pembawa kabar gembira dan lainnya. Demikianlah pula firman Allah
Ta’ala:
innamalhayaatuddunyaa lahwun wa la’ibun
“kehidupan dunia hanyalah permainan dan sia-sia.”
Zhahir ayat – wallahu a’lam- pembatasan jika dilihat dari pengaruhnya,
adapun jika dilihat dari hakikat dunia itu sendiri, kadang dunia
menjadi sebab satu kebaikan, ayat ini hanya menunjukkan pengaruh dunia
terhadap mayoritas manusia.
Jika ada lafazh
innamaa perhatikanlah, apabila konteks dan
maksud pembicaraan menunjukkan pembatasan yang khusus katakanlah
demikian, jika tidak maknakanlah dengan pembatasan yang mutlak.
Diantaranya sabda Rasulullah: “amalan itu tergantung niatnya” yang di
maksud amalan dalam hadits ini adalah amalan syari’ah.
Maknanya: amalan tidak teranggap jika tanpa niat, seperti wudhu,
mandi, tayammum demikian pula sholat, zakat, puasa, haji, i’tikaf, dan
seluruh ibadah, adapun menghilangkan najis tidak butuh kepada niat
karena itu termasuk
tark, dan bab
tark tidak butuh pada niat. Ada juga sekelompok ulama berpendapat sahnya wudhu dan mandi tanpa niat.
Dalam sabda Rasulullah: “
Amalan itu tergantung niat” ada kata
yang mahdzuf (di hilangkan) para ulama ikhtilaf dalam menentukan
lafazh yang mahdzuf, ulama yang mensyaratkan niat dalam ibadah
menyatakan: “
Sahnya amalan itu dengan niat“, ulama yang tidak mensyaratkan niat menyatakan:
“sesungguhnya sempurna tidaknya amalan itu tergantung niat“.
Sabda beliau: “Sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia
niatkan” Al khattabi berkata: “kalimat ini memberikan makna khusus
berbeda dengan kalimat yang pertama yaitu menentukan amalan dengan
niat. Syaikh Muhyidin menyebutkan faedah yang ia sebutkan: “Bahwasanya
menentukan amalan dengan niat adalah syarat, kalau seseorang
mempunyai kewajiban sholat qodha, dia tidak cukup meniatkan sholat
yang terluput, tapi disyaratkan untuk menentukan apakah sholat
tersebut sholat zhuhur atau ashar atau selain keduanya. Kalau tidak
ada kalimat kedua (yakni: Sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa
yang ia niatkan) maka kalimat pertama hanya menunjukkan bahwa sahnya
amalan itu dengan niat tanpa mewajibkan untuk menentukan niat, atau
akan mengesankan demikian, wallahu a’lam.
Sabdanya:
“Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya“,
yang
telah disepakati oleh ahli bahasa arab: syarat dan jaza (syarat dan
jawab) serta mubtada dan khabar haruslah beda, akan tetapi dalam
hadits ini antara syarat dan jaza tidak berbeda. Jawabnya
adalah:“Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya” dalam
niat dan tujuannya “
Maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya” dalam hukum dan syari’at.
Hadits ini teriwayatkan karena ada sebab, para ulama menukilkan bahwa
ada seorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah untuk menikahi seorang
wanita yang bernama Ummu Qois, dia tidak menginginkan keutamaan
hijrah, hingga iapun di juluki “muhajir ummu Qois”
-wallahu a’lam-**
* Ibnu Rajab menyatakan dalam kitabnya ‘Jami’ul Ulum wal Hikam’:
“Telah masyhur bahwa kisah muhajir ummu qois adalah sebab diucapkannya
hadits:
“Barang siapa hijrahnya untuk dunia yang ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi …”
banyak
orang mutaakhirin yang menyebutkan hal ini dalam kitab-kitab mereka,
tapi kami tidak dapatkan keterangan ini dalam sanad yang shahih,”
wallahu a’lam.
Syaikh Salim berkata: “Inilah yang benar, Al Hafizh telah menegaskan
dalam kitabnya “Fathul Bari I/10″: “(Walaupun hadits muhajir ummu qois
shahih) tapi tidak ada keterangn hadits “innamal a’malu binniyat”
disebabkan oleh kejadian (hadits) tersebut, aku tidak temukan sedikitpun
dalam banyak sanad hadits ini yang menegaskan hal tersebut.” (Dinukil
dari kitab ‘Iqodhul Himmam hal 37-pent).
** Faedah (fiqih) hadits ini diantaranya:
- Harusnya berniat dalam seluruh amalan.
- Niat tempatnya di hati bukan di lisan menurut kesepakatan muslimin,
dalam seluruh ibadah bersuci, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan
budak, jihad dan lainnya, melafazhkan niat adalah bid’ah, telah
keliru orang yang membolehkan mengucapkan niat ketika haji dan
lainnya, karena mereka tidak bisa membedakan antara niat dan talbiyah.
- Amalan shalih terwujud dengan niat yang shalih, tapi niat yang baik
tidak bisa menjadikan perkara mungkar menjadi baik atau perkara
bid’ah menjadi sunnah, betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan
tapi tidak mencapainya.
- Ikhlas untuk Allah adalah syarat di terimanya amal, karena Allah
tidak menerima amalan kecuali yang paling murni dan benar, yang paling
murni adalah yang di tujukan hanya untuk Allah dan yang paling benar
dan adalah yang sesuai dengan sunnah yang shahih. (Di sarikan dari
kitab “Bahjatun nazhirin syarah Riyadhus Shalihin: 1.31-32).
Sumber : http://mazboi.wordpress.com/2007/04/06/hadits-pertama-semua-amal-tergantung-niatnya/
SESUNGGUHNYA AMAL TERGANTUNG NIAT
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :(( إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى .
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا
أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)).
رواه البخاري مسلم
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob
rodiallohuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rosululloh alaihisolatu
wassalam bersabda :
"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang
dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan
keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. “ (H.R. Bukhori no:01 dan Muslim no:1907)
- Biografi perawi “Umar bin Alkhotob”:
Beliau adalah Umar bin Khotob bin Nufail bin Abdul Uzza, kuniyah
beliau adalah Abu Hafs dan Laqob (julukan) beliau adalah Alfaruq, Ibnu
sa’d meriwayatkan dengan sanad mursal bahwa Rosululloh sholallohu
alaihi wassalam bersabda:”Sesungguhnya Alloh menjadikan kebenaran pada
lisan Umar dan hatinya dan dia adalah
Alfaruq (yang membedakan).”
(Athobaqot 3/270).
Beliau masuk islam ketika berumur dua puluh tujuh, beliau mengikuti
perang badr, perang uhud dan seluruh peperangan bersama Nabi
sholallohu alaihi wassalam dan dia adalah kholifah kedua setelah Abu
bakr assidiq dan dia juga kholifah pertama yang dipanggil dengan
“Amirul mu’minien”.
Umar bin Alkhotob rodhiallohu anhu dibunuh sebagai seorang syahid
ketika sholat shubuh oleh Abu lu’lu almajusi pada tahun 23 Hijriyah,
Beliau menjabat kholifah kedua selama 10 tahun enam bulan sepuluh
hari.
Beliau mempunyai banyak keutamaan-keutamaan dan diantaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَا
نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ
قَالَ: ((بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي فيِ اْلجَنَّةِ فَإِذَا
امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ فَقُلْتُ: لِمَنْ هَذَا
اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِعُمَرَ، فَذَكَرْتُ غَيْرَتَهُ، فَوَلَّيْتُ
مُدْبِرًا)). فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: أَعَلَيْكَ أَغَارُ يَا رَسُوْلُ
اللهِ.
Dari Abu Hurairoh radhiallohu anhu berkata: Pada saat kami berada di sisi rosululloh alaihislatu wassalam beliau bersabda:
” Ketika Aku sedang tidur aku bermimpi berada di dalam
surga, tiba-tiba ada seorang perempuan sedang berwudhu di sebelah
sebuah istana, maka saya berkata “Milik siapakah istana ini?”Mereka
menjawab “Milik Umar” Lalu aku tuturkan kecemburuannya lalu aku
berpaling.” Maka Umar-pun menangis dan berkata:” Apakah aku cemburu
pada anda wahai Rosululloh?.” (H.R. Bukhori no:3680 dan Muslim no:2395)
عَنْ سَعْدِ ابْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا
لَقِيْكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا قَطُّ إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا
غَيْرَ فَجِّكَ)).
Dari Sa’d bin Abi waqos rodhiallohu anhu berkata, Rosululloh sholallohu alaihi wassalam bersabda:
”Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada
setan yang berpapasan denganmu (Umar) di suatu jalan melainkan setan
tersebut pasti akan menyimpang untuk menghindari jalanmu.”(H.R. Bukhori no:3683 dan Muslim no:2396)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((لَقَدْ كَانَ فِيْمَا
كَانَ قَبْلَكُمْ مِنَ اْلأُمَمِ نَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكُ فِي
أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ)).
Dari Abu hurairoh radhiallohu anhu berkata: Rosululloh sholallohu alaihi wassalam bersabda:
” Di kalangan umat-umat terdahulu ada orang-orang
mendapatkan ilham, jika didalam ummatku ada salah seorang yang
mendapatkan ilham maka sesungguhnya dia adalah Umar.” (H.R. Bukhori 3689 ( Ibnu wahb menafisirkan “Muhaddatsun” adalah orang-otang yang mendapatkan ilham (H.R. Muslim)
Di katakan bahwa sebab hadits ini yaitu: ada seseorang yang
hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi
seorang wanita yang konon bernama :
“Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan
“Muhajir Ummi Qais”
(Orang yang hijrah karena Ummu Qais). (Di riwayatkan oleh At-thobroni
dari jalur Al-a’mas) Ibnu hajar rohimahulloh berkata dalam fathul
baari:”Sanad hadits ini shohih berdasarkan syarat dua syaikh (Bukhori
dan Muslim) akan tetapi bukan berarti hadits
“al-‘amal”
di sebabkan kejadian itu, dan saya tidak melihat ada jalur periwayatan
yang jelas tentang hal itu (asbabul wurud bahwa hadits ini di
sebabkan muhajir ummu qois. pent)”
Hadits tentang niat ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran islam, Imam An-nawawi
rohimahulloh
berkata:” Kaum muslimin telah berijma’ akan keagungan kedudukan hadits
ini dan banyaknya faidah-faidah serta keabsahannya.” Dan Imam
Abdurrahman bin mahdi berkata:” Dianjurkan bagi yang menulis suatu
kitab untuk hendak memulai dalam kitabnya dengan hadits ini sebagai
peringatan bagi penuntut (ilmu) agar memperbaiki niatnya.”
Imam Ahmad
rohimahulloh dan Imam syafi’i
rohimahulloh
berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.
Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati,
lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari
ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata : Hadits
ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada
yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam.
Niat secara bahasa adalah maksud, Imam albaidowi
rohimahulloh
berkata: Niat adalah Keinginan hati terhadap apa yang dirasa cocok
untuk mendapatkan manfaat dan menangkal mudhorot. Adapaun secara syara’
bahwa niat adalah keinginan kuat untuk melakukan ibadah sebagai bentuk
mendekatkan diri kepada Alloh ta’ala.
Di dalam syari’at niat itu mempunyai dua pembahasan:
- Niat ikhlas dalam beramal hanya untuk Alloh ta’ala semata, dan
tentang hal ini biasanya di bahas oleh ulama-ulama tauhid dan akhlak
serta ulama-ulama tazkiyah (penysucian diri)
- Niat membedakan ibadah-ibadah antara ibadah yang satu dengan
ibadah yang lainnya, dan biasanya hal ini di bahas oleh ulama-ulama
ahli fiqih.
Imam ibnu daqiq
rohimahulloh berkata: “Kalimat {
إِنَّمَا }berfungi sebagai (ا
لحصر
) yaitu: pembatasan dan maksudnya ialah menetapkan hukum yang telah di
sebutkan dan meniadakan hukum selainnya (yang tidak disebut).” Imam
An-nawawi
rohimahulloh berkata:” Jumhur ulama dari ahli bahasa dan ushul serta selain mereka berkata: lafadz {
إِنَّمَا }berpungsi sebagai pembatasan yaitu menetapkan yang disebutkan dan meniadakan yang tidak disebutkan.” jadi maksud {
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ}yaitu: sah atau tidaknya amal perbuatan suatu ibadah itu tergantung pada niatnya, Imam An-nawawi
rohimahulloh
berkata:” Sesungguhnya amal perbuatan itu diberi pahala berdasarkan
niat dan tidak akan diberi pahala jika (amal perbuatan tersebut tanpa
niat.” Imam ibnu daqiq al-ied rohimahulloh mengatakan:” Yang di maksud
dengan amal di sini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga
setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti
apa-apa menurut agama islam.”
Selanjutnya {
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى}”
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang
dia niatkan.” Mengandung konsekwensi bahwa barangsiapa yang berniat
akan sesuatu tertentu niscaya ia akan mendapatkan apa-apa yang ia
niatkan dan setiap apa-apa yang ia tidak niatkan berarti ia tidak
mendapatkannya. Karenaya hadits ini merupakan tolok ukur amal
perbuatan hati atau batin sedangkan tolok ukur amal perbuatan dzohir
adalah hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ((
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)).
Dari Aisyah rodhiallohu anha bahwa Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
((Barangsiapa berbuat dengan suatu amalan yang bukan termasuk ke dalam perkara agama kami maka ia tertolak)) (H.R.Bukhori dan Muslim)
dan hadits mulia ini sebagai tolok ukur amalan ibadah yang dzohir, oleh
karenanya para ulama berkata:” Dua hadits ini telah mencakup seluruh
perihal agama.”
Kemudian Rosululloh memberikan contoh realisasi hadits ini pada hijroh seseorang:
(( فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ))
“Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Alloh dan
Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan
siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena
wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai
sebagaimana) yang dia niatkan.”
Syaikh ibnu utaimin mendefinisikan hijroh yaitu: Berpindahnya
seseorang dari negeri kafir menuju negeri islam, sedangkan Ibnu hajar
al-asqolani mengartikannya dengan:”Meninggalkan apa-apa yang di larang
oleh alloh ta’ala”. Kedua definisi ini tidaklah kontradiksi jika kita
lihat macam-macam hijroh itu sendiri.
Pembagian macam-macam hijroh:
- Hijroh tempat: Yaitu dengan berpindah dari tempat yang banyak
terdapat maksiat dan kefasiqan menuju tempat yang tidak ada hal
tersebut, dan hijroh tempat yang paling agung adalah hijroh dari negri
kafir menuju negri islam.
- Hijroh tingkah laku: Yaitu dengan meninggalkan apa-apa yang
dilarang oleh Alloh ta’ala. Sebagaimana yang disabdakan oleh
Rosululloh alaihisolatu wassalah:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( اَلْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ
مَنْ هَجَرَ مَا نهَىَ اللهُ عَنْهُ )
Dari Abdulloh bin amer rahdiallohu ‘anhu, dari Nabi alaihisolatu wassalam bersabda:
” Seorang muslim adalah orang yang mampu menyelamatkan
orang-orang muslim (yang lain) dengan lisannya dan tangannya sedangkan
orang yang hijroh itu adalah orang yang bisa hijroh (pergi) dari
apa-apa yang telah dilarang oleh Alloh.” (H.R. Bukhori no:6484 dan Muslim no:162 dan Ahmad no:6515)
3.
Hiroh dari seseorang: Yaitu meninggalkan bergaul dengan seseorang,
misalnya orang yang selalu berbuat kemaksiatan secara terang-terangan
ataupun ahli bid’ah yang menaburkan syubhat-syubhat, menghajr ini di
bolehkan jika ada faidah dan manfaat namun jika sebaliknya ataupun
malah menambah permasalahan maka tidak perlu di lakukan, maka cara
menghajrnya dengan tetap mengamalkan kebenaran di hadapannya. Adapun
orang kafir maka mereka harus di hajr baik ada faidah ataupun tidak
ada faidah kecuali mendakwahinya.
Kejadian hijroh dalam islam bisa digolongkan sebagai berikut:
- Hijroh ke habasyah (ethiopia) saat orang-orang kafir menyakiti para shohabat.
- Hijroh dari mekah ke madinah
- Hijroh para qobilah (seperti suku) kepada Rosululloh alaihisolatu
wasalam untuk belajar tentang islam dan kembali menuju kaumnya
mengajarkan ilmu-ilmu tersebut.
- Hijroh dari hal-hal yang telah diharomkan oleh Alloh ta’ala.
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits:
- Niat merupakan syarat diterima atau tidaknya amal ibadah dan
amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat
(karena Alloh ta’ala).
- Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di
hati dan bukan di lafadzkan karena hal itu merupakan perbuatan
bid’ah.
- Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Alloh ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.
- Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
- Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Alloh maka dia akan bernilai ibadah.
- Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
- Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman
karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli
Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan
lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
- Wajib memperhatikan kebeningan hati dari dosa-dosa dan maksiat
serta menghindari riya ataupun mengharapkan pujian orang terhadapnya
dan juga beramal karena mengharapkan kesengangan dunia belaka.
- Mutiara ulama tentang niat ikhlas:
- Ya’qub rohimahulloh berkata: “ Orang ikhlas
adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikan dirinya sebagaimana
ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.”
- As-sussy rohimahulloh berkata :” Ikhlas adalah tidak
merasa telah berbuat ikhlas, barangsiapa masih menyaksikan keikhlasan
dalam ikhlasnya maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan lagi.
- Ayyub rohimahulloh berkata :” Bagi para aktivis, mengikhlaskan niat jauh lebih sulit daripada melakukan aktivitas.”
- Sebagian ulama berkata :” Ikhlas sesaat berarti keselamatan abadi tetapi ikhlas itu sulit sekali.”
- Suhail rohimahulloh pernah ditanya tentang sesuatau yang
paling berat bagi diri, ia menjawab :” Ikhlas.. sebab dengan ikhlas
diri tidak mendapatkan bagian dari apa yang di kerjakan sama sekali.”
- Fudhail rohimahulloh berkata:” Meninggalkan suatu amal
karena orang lain adalah riya’ sedangkan beramal karena orang lain
adalah syirik, adapun ikhlas adalah ketika Alloh ta’ala
menyelamatkanmu dari keduanya.
- Umar bin khotob rodhiallohu anhu berkata:” Amal yang
paling utama adalah melaksanakan kewajiban dari Alloh ta’ala, bersikap
waro’ tehadap yang diharomkan-Nya dan meluruskan niat untuk
mendapatkan pahala di sisi Alloh tala’a.”
- Sebagian salaf berkata.” Betapa banyak amalan kecil menjadi besar
karena niat dan betapa banyak pula amalan besar menjadi kecil karena
niat pula.
- Yahya bin abu katsir rohimahulloh berkata:” Pelajarilah niat..! sesungguhnya niat itu lebih depat menyampaikan kepada tujuan daripada amal.”
Sumber : http://nurulilmi.com/maudhui/hadis/339-sesungguhnya-amal-tergantung-niat.html
Faidah-Faidah Hadits Setiap Amal Tergantung Niat
Segala puji bagi Allah ta’ala, Dzat yang Maha Suci dari apa yang
disifatkan orang musyrik kepada-Nya. Shalawat serta salam semoga
tercurah kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam, keluarga,
sahabat, serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Kawan mala
mini, ijinkan saya berbagi sedikit ilmu dari apa yang saya dapatkan
hari ini, dalam rangka nasehat menasehati dalam kebenaran. Adapun
tema yang diangkat pada tulisan ini adalah faidah-faidah yang
terdapat dalam hadits ke 1 dalam kitab arba’in an-nawawi,
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى
الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو
امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
"Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya, dan
setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan, barangsiapa yang
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya (mendapatkan pahala dan balasan hijrah). Barangsiapa yang
hijrahnya untuk mendapatkan dunia, atau untuk wanita yang ingin dia
nikahi, maka hijrahnya itu itu kepada apa yang menjadi tujuannya." (HR Bukhari dan Muslim)
Kawan!, mengingat keterbatasan waktu dan kesibukan saya, hadits
diatas tidak akan saya jelaskan maknanya secara mendetail pada
tulisan ini, yang akan saya sampaikan hanya faidah-faidah penting[1]
yang terdapat pada hadits ini, semoga bermanfaat bagi penulis dan juga kaum muslimin. Allahu waliyyut taufiq
- Hadits ini menunjukkan tidak sahnya sebuah amal ibadah yang dilakukan tanpa disertai niat
- Kadar pahala yang didapat seorang yang beramal bergantung pada benarnya niat
- Pada haditsi ini terdapat keteladanan Nabi Shalallahu alaihi wa
salam dalam mengajar, dimana beliau membuat perumpamaan dari apa yang
beliau katakan sebelumnya. Dengan harapan apa yang beliau sampaikan
lebih mudah dicerna dan dipahami oleh para sahabat. Sehingga
selayaknya bagi kiat meniru pengajaran beliau shalallahu alaihi wa
salam dalam majelis ilmu atau tempat-tempat lainnya.
- Hadits ini menjelaskan pula keutamaan hijrah kepada Allah dan Rasul-nya.
- Sesungguhnya setiap insan akan diberi pahala, atau mendapat dosa
dari apa yang dia lakukan bergantung pada niatnya. Jika niatnya benar
sesuai apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya maka dia akan
mendapat pahala, jika niatnya buruk maka baginya dosa. Semoga Allah
melindungi kita dari buruknya niat
- Sesungguhnya amalan yang mubah bisa menjadi sarana untuk
mendapatkan pahala manakala dilakukan dengan niat yang baik, semisal
makan, pada asalnya makan adalah perkara yang mubah, tidak diberi
pahala dan juga mendapat dosa orang yang melakukannya, akan tetapi
jika makan diniatkan untuk menjaga kesehatan tubuh agar mampu
melakukan amal ketaatn berupa sholat, maka makan dalam hal ini adalah
amalan yang berpahala. Allahu a’lam
- Terkadang sebuah amalan merupakan sebab seseorang mendapatkan
pahala, namun disaat yang lain merupakan sebab mendapatkan dosa.
Missal seorang yang menuntut ilmu ikhlas karena Allah dalam rangka
menghilangkan kebodohan dan beramal dengan ilmu, maka baginya pahala.
Akan tetapi jika mencari ilmu untuk berbangga hati dengan ilmunya
atau merendahkan orang awam, maka baginya dosa disebabkan buruknya
niat
- Fungsi niat adalah membedakan antara amal ibadah satu dengan amal
ibadah yang lainnya dan membedakan amal ibadah dengan adat kebiasaan.
Sekian apa yang bisa saya sampaikan. Segala kekurangan yang terdapat
pada tulisan ini berasal dari saya pribadi dan juga godaan syaitan,
adapun kebenaran berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Alhamdulillah
aladzi bi ni’matihi tatimus shalihaat
Rahmat Ariza Putra
Sumber : http://surya-ramadhan.web.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=6%3Afaidah-faidah-hadits-setiap-amal-tergantung-niat&catid=4%3Aartikel&Itemid=5
Amal tergantung Niat
“ Segala Amal tergantung dari Niat, dan setiap pekerjaan adalah seSuai dengan apa yang telah diniatkan sebelumnya…” –al Hadist
Sugesti berasal dari bahasa inggris yaitu suggest yang berarti
menasehati, membayangkan, menyarankan, mempengaruhi. Auto sugesti
secara bahasa dapat diartikan mempengaruhi diri sendiri.
Auto sugesti adalah kemampuan diri kita dalam memberi pengaruh terhadap
diri untuk memiliki keyakinan kuat atas keputusan atau
pilihan-pilihan yang kita ambil. Auto sugesti sangat dipengaruhi oleh
pikiran bawah sadar yang kita miliki. Umumnya kita mengenal dua macam
pikiran. Yaitu “pikiran sadar” dan “pikiran bawah sadar”.
Pikiran bawah sadar yang kita miliki dapat menjadi mekanisme pencapaian
kesuksesan maupun mekanisme kegagalan. Apabila kita mengangankan
sesuatu dan optimis untuk melakukan proses pencapaiannya maka secara
otomatis pikiran bawah sadar yang kita miliki menjadi mekanisme
kesuksesan. Sebaliknya ketika apa yang kita inginkan dihantui
kekhawatiran, pesimis dan was-was akan gagal maka secara otomatis
pikiran bawah sadar kita akan berfungsi sebagai mekanisme kegagalan.
Pikiran bawah sadar dalam diri kita merupakan bagian terpenting dalam
memberikan sugesti sukses maupun sugesti gagal. Sebagai ilustrasi yang
akan membantu kita mendapatkan gambaran tentang pikiran bawah sadar;
“Sepotong besi baja tidak akan mampu menarik dan mengangkat sepotong
jarumpun tanpa diberi daya magnet. Namun ketika baja tersebut diberikan
daya magnet maka baja tersbut akan mampu menarik dan mengangkat besi
lain yang beratnya beberapa kali lipat besi baja tersebut. Pikiran
bawah sadar itulah daya magnet yang harus kita asah dan kita latih
agar mampu memberikan suplai energi positip untuk pencapaian tujuan
yang kita miliki.
Aktivitas yang pernah kita lakukan, pengalaman yang kita lalui, maupun
pekerjaan kita adalah merupakan reaksi pikiran bawah sadar. Seorang
pengendara motor akan tahu seberapa cepat dia menarik gas untuk
melampui beberapa kendaraan didepannya, seorang sopir tahu lebih cepat
arah jalan yang harus ia pilih untuk mencapai target tujuan sebelum
mobilnya melalui jalan yang ada dalam pikirannya. Seorang pasien akan
merasa nyaman jika dihadapkan pada dokter spesialis “manjur”
pilihannya atas dasar informasi pihak lain dibanding jika berhadapan
pada dokter yang sama tanpa informasi ke”manjuran” pada tahap
sebelumnya.
Mekanisme bawah sadar sangat memberikan pengaruh pada sugesti-sugesti
yang kita ambil, karena itulah apapun yang kita inginkan tanpa adanya
keinginan kuat yang diiringi dengan prasangka positip kepada diri,
kepada orang lain dan kepada Allah SWT maka keinginan itu hanya akan
menjadi awal kekecewaan kita, karena setiap kegagalan pada dasarnya
selalu diawali oleh gagalanya perencanaan. Gagal merencanakan berarti
juga merencanakan kegagalan.
Sejauh mana anda mampu membayangkan apa yang anda inginkan maka sejauh
itu pula anda mampu menerjemahkan dalam kenyataan. Apa yang anda
bayangkan tentang kesuksesan maka seperti itulah pada kenyataannya
sukses bagi anda. Yang jadi masalah adalah ketika anda tidak mampu
menerjemahkan kesuksesan seperti apakah yang anda inginkan, maka
kesuksesanpun hanyalah angan kosong.
Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=406615151041
Arti Sebuah Niat
Fungsi niat dalam ibadah sangatlah penting. Karena itu setiap muslim
harus senantiasa memperbaiki niat dalam ibadahnya, yaitu ikhlas untuk
Allah semata.
Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ
امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
"Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap
orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka
siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya
itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia
yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka
hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan".
Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah
dalam beberapa tempat dari kitab shahihnya (hadits no. 1, 54, 2529,
3898, 5070, 6689, 6953) dan Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya
(no. 1908).
Berkata Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali tentang hadits ini :
"Yahya bin Said Al Anshari bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini
dari Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dari `Alqamah bin Waqqash Al
Laitsi, dari Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu. Dan tidak ada
jalan lain yang shahih dari hadits ini kecuali jalan ini. Demikian
yang dikatakan oleh Ali ibnul Madini dan selainnya”. Berkata Al
Khaththabi : "Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan
ahli hadits dalam hal ini sementara hadits ini juga diriwayatkan dari
shahabat Abu Said Al Khudri dan selainnya”. Dan dikatakan: Hadits ini
diriwayatkan dari jalan yang banyak akan tetapi tidak ada satupun yang
shahih dari jalan-jalan tersebut di sisi para huffadz (para penghafal
hadits).
Kemudian setelah Yahya bin Said Al Anshari banyak sekali perawi yang
meriwayatkan darinya, sampai dikatakan : Telah meriwayatkan dari Yahya
Al Anshari lebih dari 200 perawi. Bahkan ada yang mengatakan
jumlahnya mencapai 700 rawi, yang terkenal dari mereka di antaranya
Malik, Ats Tsauri, Al Auza`i , Ibnul Mubarak, Al Laits bin Sa`ad,
Hammad bin Zaid, Syu`bah, Ibnu `Uyainah dan selainnya. .
Ulama bersepakat menshahihkan hadits ini dan menerimanya dengan
penerimaan yang baik dan mantap. Imam Bukhari membuka kitab Shahihnya
dengan hadits ini dan menempatkannya seperti khutbah/mukaddimah bagi
kitab beliau, sebagai isyarat bahwasanya setiap amalan yang tidak
ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah maka amalan itu batil, tidak
akan diperoleh buah/hasilnya di dunia terlebih lagi di akhirat. Karena
itulah berkata Abdurrahman bin Mahdi: "Seandainya aku membuat bab-bab
dalam sebuah kitab niscaya aku tempatkan pada setiap bab hadits Umar
tentang amalan itu dengan niatnya”. Beliau juga mengatakan: "Siapa
yang ingin menulis sebuah kitab maka hendaknya ia memulai dengan
hadits
innamal a'malu binniyah.
(Jam`iul `Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 59-60. Muassasah Ar Risalah, cet. Ke-4, th. 1413 H/1993 M)
Hadits ini selain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim juga
diriwayatkan oleh para imam yang lain. Dan komentar tentang hadits ini
kami cukupkan dari menukil ucapan Ibnu Rajab Al Hambali di atas
karena padanya ada kifayah (kecukupan).
Penjelasan Hadits
Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan
memperoleh balasan amalan yang dia lakukan sesuai dengan niatnya.
Dalam hal ini telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
"Setiap amalan yang dilakukan seseorang apakah berupa kebaikan
ataupun kejelekan tergantung dengan niatnya. Apabila ia tujukan dengan
perbuatan tersebut niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan
kebaikan, sebaliknya bila maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai
dengan apa yang ia niatkan". Beliau juga mengatakan: "Hadits ini
mencakup di dalamnya seluruh amalan, yakni setiap amalan harus
disertai niat. Dan niat ini yang membedakan antara orang yang beramal
karena ingin mendapatkan ridla Allah dan pahala di negeri akhirat
dengan orang yang beramal karena ingin dunia apakah berupa harta,
kemuliaan, pujian, sanjungan, pengagungan dan selainnya".
(Makarimul Akhlaq, hal 26 dan 27)
Di sini kita bisa melihat arti pentingnya niat sebagai ruh amal, inti
dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya
amal jadi rusak karena niat yang rusak.
Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna: "Siapa
yang senang untuk disempurnakan amalan yang dilakukannya maka
hendaklah ia membaikkan niatnya. Karena Allah ta`ala memberi pahala
bagi seorang hamba apabila baik niatnya sampaipun satu suapan yang dia
berikan (akan diberi pahala)".
Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah: "Berapa banyak amalan yang sedikit
bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar
bisa bernilai kecil karena niatnya".
(Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 71)
Perlu diketahui bahwasanya suatu perkara yang sifatnya mubah bisa
diberi pahala bagi pelakunya karena niat yang baik. Seperti orang yang
makan dan minum dan ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka
membantunya untuk taat kepada Allah dan bisa menegakkan ibadah
kepada-Nya. Maka dia akan diberi pahala karena niatnya yang baik
tersebut. Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan : "Perkara
mubah pada diri orang-orang yang khusus dari kalangan muqarrabin
(mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Allah) bisa
berubah menjadi ketaatan dan qurubat (perbuatan untuk mendekatkan diri
kepada Allah) karena niat".
(Madarijus Salikin 1/107)
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim (7/92) ketika menjelaskan hadits:
Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah.
Beliau menyatakan: "Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan
bahwasanya perkara-perkara mubah bisa menjadi amalan ketaatan dengan
niat yang baik. Jima’ (bersetubuh) dengan istri bisa bernilai ibadah
apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul
dengan cara yang baik terhadapnya sesuai dengan apa yang Allah
perintahkan, atau ia bertujuan untuk mendapatkan anak yang shalih,
atau untuk menjaga kehormatan dirinya atau kehormatan istrinya dan
untuk mencegah keduanya dari melihat perkara yang haram, atau berfikir
kepada perkara haram atau berkeinginan melakukannya dan selainnya
dari tujuan-tujuan yang tidak baik".
(Syarh Muslim 3/44)
Meluruskan Niat
Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niatnya dan
meluruskannya agar apa yang dia lakukan dapat berbuah kebaikan. Dan
perbaikan niat ini perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan
mencurahkan segala daya upaya). Karena sulitnya meluruskan niat ini
sampai-sampai Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata : "Tidak ada
suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada
meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku".
(Hilyatul Auliya 7/5 dan 62)
Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah, ikhlas karena
mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka
tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Allah ta`ala berfirman tentang
ikhlas dalam ibadah ini :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya. (Al Bayyinah : 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu` Fatawa
(10/49) : "Mengikhlaskan agama untuk Allah adalah pokok ajaran agama
ini yang Allah tidak menerima selainnya. Dengan ajaran agama inilah
Allah mengutus rasul yang pertama sampai rasul yang akhir, yang
karenanya Allah menurunkan seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan
perkara yang disepakati oleh para imam ahlul iman. Dan ia merupakan
inti dari dakwah para nabi dan poros Al Qur'an".
Yang perlu diingat bahwasanya niat itu tempatnya di hati sehingga
tidak boleh dilafazkan dengan lisan. Bahkan termasuk perbuatan bid``ah
bila niat itu dilafazkan.
Pelajaran Yang Dipetik dari Hadits Ini
1. Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.
2. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia
melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak,
apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan
bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang
disyariatkan.
3. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin
(ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus
menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah
shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin
puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa
qadha atau yang lainnya.
4. Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
5. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun
perlu diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar
(kejelekan) itu menjadi ma'ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang
bid`ah menjadi sunnah.
6. Wajibnya berhati-hati dari riya, sum`ah (beramal karena ingin
didengar orang lain) dan tujuan dunia yang lainnya karena perkara
tersebut merusakkan ibadah kepada Allah ta`ala.
7. Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki
keutamaan yang besar dan merupakan ibadah bila diniatkan karena Allah
dan Rasul-Nya.
Sumber : http://ittibausalafpress.blogspot.com/2010/04/pentingnya-niat-ikhlas-dalam-setiap.html
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya
Allah
yang Mahatahu
Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika
terjadi
kesalahan dan
kekurangan
disana-sini
dalam
catatan
ini...
Itu
hanyalah dari
kami...
dan
kepada Allah
SWT.,
kami mohon
ampunan...
Semoga
Allah
SWT.
memberi
kekuatan
untuk
kita
amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga
Bermanfaat...